tak henti belajar memberi makna Cinta...: Kasih Ibu Berujung Petaka

tak henti belajar memberi makna Cinta...

Thursday, June 15, 2006

Kasih Ibu Berujung Petaka

Air mata, tampaknya tak lagi dimiliki Iman Abdullah setelah peristiwa itu. Habis terkuras kepedihan yang dialaminya. Tiga anak, buah hati yang selama ini menghidupi semangatnya dari hari ke hari, punah dalam waktu bersamaan. Yang lebih menggiriskan, semua itu kemungkinan besar dilakukan belahan jiwanya yang lain, sang istri, Anik Koriah.

''Saya baru selesai menangis Senin malam (12/6),'' kata Iman, ketika ditemui di rumah kerabat jauhnya di Margahayu, Bandung. ''Itu pun karena mata saya tak lagi mengalirkan air.'' Iman, rasanya tidak tengah melebih-lebihkan. Kelopak matanya menonjol sembab, membuat matanya seolah hanya merupakan garis tipis. Dari garis itu, tak terlihat sinar apa pun mengintip. Tatapannya saat berbicara pun sering kali membentur dinding kosong.

Tetapi, Iman sama sekali bukan lelaki berjiwa ringkih. Suami, bapak, mana yang akan sanggup menghadapi semua itu dengan keteguhan sebagaimana diperlihatkannya selama ini? Jumat (9/6) lalu, kepulangannya ke rumah seolah hanya untuk menemui tiga jasad terkasih itu terbujur kaku tanpa nyawa. Anak-anak yang tengah lucu-lucunya: Abdullah Faras Elmaki (6 tahun) Nazhif Aulia Rahmatullah (3), dan Muhammad Umar, yang baru berusia tujuh bulan. Direktur Lembaga Wakaf Zakat (LWZ), Masjid Salman- Institut Teknologi Bandung (ITB), itu bahkan masih tegar untuk memimpin warga melakukan shalat jenazah untuk ketiga putranya itu di Masjid RS Al-Islam, Bandung.

Sebelumnya, kepulangan Iman ke rumah setelah sejak Rabu (7/6) tidur berbekal kesibukan di kantornya itu, masih sempat melarikan ketiga anaknya ke RS Al-Islam. Tetapi, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan. Ketiga anak mungil itu telah meninggal dunia, bahkan sebelum dibawa ke RS. Tim medis RS Al-Islam juga tidak bisa mengetahui apa yang menjadi sebab meninggalnya ketiga anak itu. Pasalnya, baik Iman maupun istrinya, saat itu meminta pihak RS tidak melakukan otopsi.

Tetapi, saat itu pun polisi sudah menaruh curiga. Karena itu, polisi sempat mengamankan beberapa barang di rumah pasangan Iman dan Anik, seperti botol susu, obat-obatan, serta penggorengan yang digunakan. Semula polisi menduga, ketiga anak itu tidak lebih dari korban keracunan. Soalnya, saat anak-anak itu dibawa ke rumah sakit, bibir ketiganya terlihat membiru.

Tetapi, untuk mengaitkan sangkaan itu kepada Anik, sang ibu, tak terpikirkan seorang pun. ''Sebagai tetangganya, kami hanya berpikir keracunan. Apalagi sekaligus tiga orang anak,'' kata Asep, salah seorang tetangga keluarga Iman di Margahayu.

Memang, sukar untuk mempercayai betapa Anik tega melakukan semua itu. Ibu muda itu jauh dari kesan seorang ibu yang akan tega menyakiti darah dagingnya sendiri. Dilahirkan 31 tahun lalu, sebagaimana Iman sendiri, Anik Koriah adalah lulusan cemerlang ITB. Anik berkuliah di Jurusan Arsitektur ITB, sebelum kemudian pindah jurusan ke Planologi. Di jurusan baru itulah prestasinya tercatat cemerlang, hingga lulus dengan indeks prestasi di atas 3.

Tidak sekadar cerdas, Anik juga tergolong aktivis. ''Sejak semester-semester awal, dia sudah aktif di Masjid Salman,'' kata seorang rekannya. Wajar, bila semua fakta itu, dibenturkan dengan kenyataan Anik yang saat ini menjadi satu-satunya tersangka, membuat banyak kalangan terperangah.

Lalu, apa yang membuat Anik bisa jatuh kepada kekhilafan setragis itu? Hingga saat ini banyak versi beredar. Yang paling banyak disebut adalah soal 'jatuhnya' kondisi sosial ekonomi Anik pascapernikahannya dengan Iman. Sebelum menikah, Anik, putri seorang dokter terkemuka di Boyolali, tergolong mahasiswa berkecukupan. Kabarnya, setelah menikah, justru ia baru merasakan pahitnya kesulitan ekonomi.

Tetapi, sangkaan bahwa soal ekonomilah yang menjadi penyebab semuia itu, langsung dibantah Iman. ''Gaji saya di Salman tergolong paling tinggi,'' kata Iman, tanpa menyebutkan nominal. Ia juga mengaku mendapatkan mobil dinas, yang kadang digunakan juga untuk urusan keluarganya. Namun, Iman sendiri hingga kini masih belum mengetahui pasti penyebabnya.

Yang agak jelas, semua itu tampaknya berhubungan dengan kondisi kejiwaan Anik. Paling tidak, itulah versi polisi saat ini, sebagaimana diungkapkan Kapolresta Bandung Timur, AKBP Edison Sitorus, Selasa (13/6) lalu.

Selain itu, Adardam Achyar, penasihat hukum yang kini menangani Anik, juga menguatkan hal tersebut. Menurut Adardam, indikasi adanya gangguan kejiwaan dalam kasus ini begitu kuat. ''Saat ngobrol, ekspresi Anik selalu berubah-ubah,'' kata Adardam, tentang kliennya itu. Ia juga mengakui, sering kali pembicaraan Anik juga tidak terfokus.

Adardam bahkan bercerita, Anik sempat mengakui sendiri pembunuhan itu. Kepada Adardam ia mengaku, pembunuhan yang dilakukannya itu semata karena kasih sayangnya terhadap ketiga anaknya itu. ''Ia sangat senang bercerita tentang anak-anaknya. Bahkan, katanya, dia melakukan hal itu juga karena sayang,'' kata Adardam.

Pernyataan Adardam itu dikuatkan Iman. ''Istri saya memang mengatakan seperti itu. Tetapi, saya sendiri tak habis mengerti dengan apa yang dilakukannya,'' kata Iman. Akankah Iman memaafkan sang istri? Ia mengaku, meski tidak akan pernah memahami penyebabnya, rasa sayang akan istrinya kini justru bertambah. Bagaimanapun, kata Iman, istrinya itu merupakan ladang amal dan amanah yang harus dijaga selama hidup. Iman sendiri memandang kejadian yang menimpanya sebagai ujian dari Tuhan. ''Meski saya akui, ini ujian terberat yang pernah saya terima,'' kata dia.

www.republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home


 
Love Theme From St. Elmo's Fire

Music Code provided by Song2Play.Com